Defek Post-mortem |
Defek post-mortem meliputi penanganan hewan pada saat
pelepasan kulit hingga proses pengolahan kulit sampai menjadi leather (kulit jadi) yang siap untuk dibuat menjadi barang jadi (tas, dompet, sepatu, dll). Apabila
hewan setelah disembelih terus diseret akan dapat mengakibatkan luka pada kulit
yang tidak akan bisa hilang sampai proses pengolahan atau penyamakan kulit
selesai. Pada saat pelepasan kulit juga bisa terjadi goresan dikarenakan pisau
yang digunakan melukai kulit hewan tersebut.
Setelah pelepasan kulit dari
hewan, maka kulit dilakukan pengawetan. Hal ini dilakukan karena kulit belum
bisa langsung dilakukan proses penyamakan. Kulit dapat dilakukan proses
penyamakan jika kulit sudah terkumpul dalam jumlah yang banyak sehingga proses
penyamakan dalam satu kali proses dalam jumlah yang besar tidak mengalami
kerugian. Proses pengawetan kulit dilakukan dengan menggunakan garam yang
ditabur di atas permukaan kulit. Proses pengawetan ini biasa disebut pengawetan
garam tabur, sedangkan kulitnya disebut kulit awetan garam. Pengawetan garam
tabur biasa dilakukan untuk kulit skin (kecil) seperti kambing, domba dan kelinci.
Sedangkan untuk reptile seperti ular dan biawak dilakukan pengawetan kering
matahari. Untuk kulit besar seperti sapi dan kerbau dilakukan pengawetan garam
jenuh.
Defek pada saat pengawetan
menggunakan garam bisa terjadi dikarenakan garam itu sendiri. Penumpukan kulit
yang terlalu banyak sehingga beban kulit semakin berat maka garam yang
berbentuk kristal tajam akan dapat melukai permukaan kulit. Sedangkan pada
pengawetan kering matahari jika terlalu panas maka lemak alami kulit akan
meleleh sehingga akan menimbulkan noda putih. Noda akibat lemak ini akan sulit
dihilangkan selama proses pengolahan kulit.
Proses pengolahan kulit yang
merubah kulit mentah menjadi kulit jadi siap untuk dibuat menjadi barang jadi
juga tidak luput dari permasalahan defek. Selain proses pengolahan kulit
diharapkan mampu mengurangi defek atau cacat, proses pengolahan kulit juga dapat
menimbulkan defek itu sendiri. Masing-masing proses pengolahan kulit yang
terdiri dari 4 macam proses besar dapat menimbulkan defek yang berbeda-beda. Sehingga
defek pada proses pengolahan kulit juga dapat dipisahkan menurut proses
pengolahan kulit.
Defek pada proses BHO (BeamHouse Operation) bisa terjadi dikarenakan bahan kimia yang digunakan maupun
proses mekanisnya. Penggunaan kapur yang terlalu banyak pada proses liming akan
mengakibatkan pembengkak-an kulit yang berlebih sehingga kulit menjadi kurang
rata. Sedangkan pada proses pelepasan bulu apabila kurang sempurna maka bulu-bulu
halus akan masih ada sampai kulit menjadi leather walaupun sudah melalui dry
proses atau proses mekanik setelah pasca tanning.
Defek pada proses Tanning bisa
bermacam-macam bisa tergantung dari bahan kimia tanning yang digunakan ataupun
proses mekanisnya. Defek yang timbul jika menggunakan bahan tanning nabati akan
berbeda dengan defek yang timbul jika menggunakan bahan tanning mineral seperti
krom. Defek yang paling sering muncul jika menggunakan bahan tanning nabati
adalah adanya noda besi yang berwarna hitam. Hal ini dikarenakan bahan tanning
nabati seperti mimosa akan bereaksi dengan besi membentuk besi-tannat yang
berwarna hitam. Apabila noda ini tidak dihilangkan maka akan muncul terus
sampai kulit menjadi leather. Sedangkan defek menggunakan bahan tanning mineral
seperti krom lebih cenderung dikarenakan proses mekanis setelah proses tanning
selesai.
Defek setelah proses tanning
menggunakan krom biasanya dikarenakan pengemasan atau penempatan kulit yang
kurang baik. Misalkan saja kulit setelah tanning krom (kulit wet blue) hanya
diletakkan tanpa adanya kontrol kelembaban. Apabila kulit wet blue menjadi
kering maka kulit akan susah dibasahi kembali sehingga kulit susah jika akan
diproses kembali. Kulit wet blue dalam penyimpanan akan rentan terhadap
tekanan. Apabila kulit wet blue menerima tekanan dalam jangka waktu lama maka
kulit akan membekas dan akan susah dihilangkan. Defek seperti ini biasa disebut
folding.
Defek pasca tanning dan
finishing lebih cenderung dikarenakan penggunaan bahan kimia. Penggunaan bahan
kimia disini dimaksudkan karena kurang baiknya kontrol proses. Misalkan saja
pada proses pasca tanning apabila fiksasi kurang sempurna maka warna akan mudah
luntur walaupun kulit sudah kering dan sudah melalui dry process. Begitu juga
pada finishing, walaupun kulit pada saat finishing bisa cacat dikarenakan mesin
akan tetapi pencampuran penggunaan bahan kimia yang kurang sesuai akan lebih
berakibat fatal. Penggunaan bahan kimia yang kurang sesuai bisa mengakibatkan
lapisan finishing akan mudah lepas atau mengelupas. Akan lebih parah jika
lapisan finishing pada saat menggunakan platting menempel atau meninggalkan
bekas. Sehingga akan mengotori kulit yang selanjutnya diplatting.