Colour Matching pada Proses Dyeing


Crust Dyed kulit kambing
Setelah kita mengetahui bagaimana pengujian dyestuff maka kita akan belajar mengenai proses dyeing.
Proses pasca tanning pada proses pengolahan kulit bisa diartikan suatu tahapan proses yang bertanggung jawab atas cita rasa dan sentuhan karakter kulit. Proses pasca tanning pada proses pengolahan kulit merupakan tahapan proses ketiga dari empat proses utama. Proses pasca tanning terdiri dari beberapa proses diantaranya retanning, netralisasi, fatliquoring, dyeing dan fiksasi. Sedangkan proses mekanik pada pasca tanning berupa ageing, sammying dan shaving yang dilakukan sebelum proses. Setelah proses basah pasca tanning selesai maka dilakukan proses mekanis yang berupa ageing, staking, buffing, toggling dan measuring.

Proses dyeing pada proses pasca tanning merupakan proses pewarnaan dasar pada proses pengolahan kulit. Tujuan proses pewarnaan dasar/dyeing adalah untuk meningkatkan penampakan kulit jadinya (leather) agar lebih indah, sesuai corak dan metode yang akhirnya dapat meningkatkan nilai produk tersebut untuk diperdagangkan. Pemberian warna dasar pada kulit tentu saja harus sesuai dengan standar baik nasional maupun internasional yang berhubungan dengan karakteristik uji fisik, organoleptik, kimia termasuk persyaratan yang berhubungan dengan penggunaan jenis dyestuffnya.

Warna menurut Abrahart E.N. dalam bukunya Dyes and Their Intermediate adalah merupakan bagian yang terlihat dari spektrum yang berasal dari radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang berkisar antara 400-800nm. Bahan pewarna terdiri dari dua jenis yaitu pigmen dan dyes. Pigment dalam suatu larutan walaupun dapat campur kan tetapi bersifat tidak dapat larut atau insoluble (Gurse, 2016). Sedangkan dye merupakan pewarna yang dapat larut dalam suatu larutan dan dalam proses pewarnaannya melalui rekasi kimia. Dye ada dua tipe yaitu sintetis (dyestuff) dan natural. Dye sintetis berasal dari bahan petroleum sedangkan dye natural diambil dari tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral menurut Singh dan Bharati (dalam Gurse A., 2016).

Dye sintetis atau dyestuff jadi bahan pewarna utama dalam proses dyeing. Hal ini dikarenakan bahan pewarna natural dari alam belum mampu memenuhi standar warna diantaranya rentang warna yang sedikit, kurang tajam dan penggunaannya yang sangat banyak dalam satu kali proses dyeing. Dyestuff yang paling banyak digunakan dalam proses pengolahan kulit adalah acid dyestuff karena mempunyai banyak keunggulan. Menurut Covington T. (hal 373 : 2009) keunggulan dari acid dyestuff diantaranya :

1.      Molekul yang cenderung kecil dan mudah larut dalam air

2.      Digunakan pada pewarnaan yang membutuhkan penetrasi dan ketajaman warna

3.      Mempunyai muatan ionic sehingga reaktifitasnya sangat tinggi dengan kulit yang bermuatan kationik

4.      Fiksasi menggunakan asam sebagai akibat adanya gugus sulfonat

5.      Bereaksinya didominasi oleh reaksi elektrostatik antara gugus sulfonat dengan proton amino dari gugus lysine

6.      Reaksi keduanya merupakan ikatan hidrogen melalui grup auksokrom

7.      Beberepa bereaksi dengan ikatan krom yang berfungsi sebagai mordant

8.      Mempunyai ketahanan warna yang baik

9.      Mempunyai rentang warna yang besar, warna yang cerah dan tajam

Proses dyeing dalam rangkaian proses pasca tanning tidak serta merta hanya sekedar memasukkan bahan pewarna. Proses pewarnaan dasar (dyeing) diperlukan dyestuff yang mempunyai penetrasi yang tinggi agar terpenetrasi sempurna ke dalam penampang kulit (Sharphouse J.H., 1989). Selain itu diperlukan penambahan pH dengan ditambah bahan neutralising agent atau ammonia sampai pH 6 dengan kondisi hangat.

Proses dyeing selain dari bahan yang digunakan perlu diperhatikan urutan proses dan mekanisnya. Proses dyeing sebelum dan sesudah fatliquoring akan menghasilkan warna yang sedikit berbeda. Proses mekanis pada proses dyeing dilakukan selama 60 menit dengan asumsi dyestuff dapat terpenetrasi sempurna ke dalam penampang kulit.

Menurut J. H. Sharphouse beberapa efek yang terjadi pada proses dyeing, diantaranya :

a.      Temperature effect

Proses melarutkan dyestuff dalam bentuk pasta dengan menggunakan sedikit air dingin kemudian ditambahkan air panas sejumlah 20x berat dyestuff. Selain dibutuhkan dyeing dengan penetrasi yang tinggi, proses dyeing diperlukan kondisi hangat dengan suhu 40-60 0C.

b.      Effect of Concentration

Penggunaan air yang kurang akan mengakibatkan warna yang lebih pekat pada permukaan. Penggunaan air yang kurang diperlukan aksi mekanis yang lebih besar. Difusi dyestuff yang sangat cepat bisa terjadi sehingga akan mengakibatkan flek warna karena warna tidak dapat menyebar merata.

c.       Micelle Formation Effects

Tidak semua dyestuff terdapat dalam larutan air sebagai molekul individu tetapi membentuk agregat seperti pada bahan penyamak nabati. Bahan ini berbentuk micelles. Formasi bahan ini akan meningkat oleh konsentrasi garam, mereduksi dari inonisasi dari grup auksokrom. Hal ini akan berakibat mengurangi kecepatan reaksi dyestuff dengan kulit.

d.      Effect of tannages

Penggunaan bahan penyamak yang berbeda akan berakibat pada warna yang berbeda. Bahan samak yang berbeda mempunyai kandungan ion yang berbeda seperti antara penggunaan krom dan nabati. Penggunaan bahan penyamak krom makan kulit dalam keadaan kationik. Sedangkan bahan penyamak nabati akan lebih anionic. Hal ini bisa terlihat dari pH akhir proses tanning. Penggunaan bahan penyamak nabati akan menutup gugus amino pada kolagen, sehingga akan mengurangi ikatan acid dyestuff pada kulit.

Acid dyestuff yang mempunyai rentang warna yang besar tidak serta merta semua warna ada. Dengan tidak adanya bahan pewarna maka diperlukan pencampuran dyestuff agar didapat warna yang sesuai dengan permintaan. Karena warna merupakan gelombang elektronagnetik dengan panjang gelombang tertentu makan pencampuran dua atau lebih warna akan merubah panjang gelombangnya. Pencampuran warna sebaiknya mempunyai penetrasi yang sama. Apabila pencampuran warna mempunyai penetrasi yang berbeda maka hasil kulit yang didapat akan terjadi perbedaan warna antara bagian permukaan dengan penampang bagian dalam kulit.

Dua objek yang mempunyai penampakan warna sama ketika dilihat pada satu sumber cahaya apabila dilihat dengan sumber cahaya yang lain akan berbeda maka disebut warna metameric ( Sharphouse J.H, 1989). Pencampuran dua warna setelah selesai dilakukan maka perlu dilakukan pengujian warna dibawah sumber cahaya dimana kulit ditempatkan. Jika dibawah sinar lampu neon maka pengujian warna juga dilakukan dibawah sinar lampu neon.

Prasyarat proses colour matching menurut Eddy Purnomo dalam Color and Leather (2016) diantaranya :

a.       Dyestuff tidak memiliki perbedaan/selisih nilai penetrasi lebih dari dua

b.    Dyestuff harus sejenis, bermuatan sama, anionic dengan anionic, cat asam dengan cat asam, tidak boleh mencapurkan dengan jenis yang lain seperti cat reaktif, apalagi muatannya berbeda

c.     Hue warna harus seirama, tidak boleh terlalu berbeda, atau mempunyai frekuensi panjang gelombang yang berdekatan

d.  Pilih dan campur warna sekunder dengan sekunder atau tersier jangan mencampurkannya dengan warna primer ( merah, kuning, biru)

e.       Tidak boleh menggunakan warna hitam untuk menuakan (darkness) warna

f.       Warna coklat akan menyebabkan efek buram (dull)

Menurut Krysztof Bienkiewicz dalam bukunya physical chemistry of leather making (441 : 1983), pencampuran warna tidak hanya sekedar merubah panjang gelombangnya akan tetapi juga dari komponen bahan dyestuff. Pencampuran dua warna atau lebih akan bisa mengakibatkan reaksi kimia antar dyestuff yang nantinya akan mempengaruhi reaksi dyestuff dengan kulit sehingga akan menimbulkan arah warna yang berbeda pula.

I.                    Matching Colour for Neutral Colour

Proses pewarnaan dasar(dyeing) dengan menggunakan pencampuran warna dengan adanya bahan lain pada proses pasca tanning tentu saja akan mempengaruhi hasil akhir warna. Penggunaan bahan retan dari bahan penyamak yang berwarna coklat secara otomatis sedikit banyak akan mempengaruhi warna. Sehingga untuk mendapatkan warna netral atau warna asli dyestuff menggunakan bahan pembantu yang tidak mempengaruhi warna.

Penggunaan bahan pembantu dibutuhkan hanya untuk membantu penetrasi dyestuff secara sempurna yaitu ditambahkan levelling atau dispersing agent. Levelling agent seperti sincal MS tidak akan merubah warna, sedangkan dispersing agent seperti coralon OT akan sedikit merubah warna menjadi lebih muda. Penambahan ammonia untuk menaikkan pH akan mengakibatkan afinitas dyestuff menurun dan menaikkan difusinya ( Purnomo E., 2016).

II.                 Matching Colour for Light Colour

Proses pewarnaan(dyeing) pada warna-warna muda bisa dilakukan dengan penggunaan dyestuff yang lebih sedikit yang akan sedikit pula mewarnai kulit yang menyebabkan warna akhir menjadi lebih muda.

Penggunaan bahan-bahan fatliquoring akan mempengaruhi hasil akhir warna. Penambahan bahan fatliquoring pada akhir proses (top fat) / surcate fatliquoring akan menyebabkan warna akhir menjadi lebih muda (Post Tanning Processes Up To Crusted Leather).

Untuk mendapatkan warna muda bisa dilakukan dengan cara menambahkan white syntan. White syntan merupakan replacement syntan yang biasa digunakan untuk chrome free snow white leather atau kulit yang berwarna putih. Dengan penambahan white syntan maka warna akan menjadi lebih terang atau muda.

III.               Metoda Sandwich

Dalam buku Post Tanning Processes Up To Crusted Leather) proses dyeing dengan metode sandwich merupakan proses pewarnaan dasar untuk mendapatkan warna yang tembus (through dyeing) dan warna yang pekat atau deep pada permukaan/grain kulit. Pada awalnya proses pewarnaan dasar tidak berbeda dengan proses pewarnaan netral dengan penetrasi dyestuff yang baik (through). Setelah itu dilakukan penambahan yang kedua kali dilakukan fiksasi secara cepat pada permukaan sehingga ada penumpukan warna pada permukaan kulit.

Proses pasca tanning diakhiri dengan proses fiksasi yang bertujuan untuk pengikatan bahan kimia (retanning, dyestuff, fat) terhadap kulit. Menurut Eddy Purnomo (Teknik Pasca Tanning Kulit Besar, 2017), fiksasi dilakukan dengan menambahkan asam pada larutan dyeing untuk meninkatkan daya dan kecepatan ikatan ionic antara gugus amina pada rantai samping protein dengan gugus auksokrom (bermuatan negative) dari dyestuff. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada proses fiksasi diantaranya :

a.       Proses fiksasi akan menyebabkan warna menjadi lebih tua

b.      Fiksasi dapat pula menggunakan bahan pembantu berupa komponen kationik (fixing agent) seperti resin kationik, komponen Al, komponen Cr dan lain lain

c.       pH akhir pada dyeing antara 3,2-3,5
Share:
Mohon Aktifkan Javascript!Enable JavaScript

Labels

acid dyestuff air air sadah air sadah. alam alami analisa antemortem anti jamur anti oksidan antik artikel asam amino assessing auksokrom auxiliaries auxiliary awet awetan bahan kimia bahan kimia finishing bahan pembantu barang jadi base coat bating beam house operation bebas bebas krom beeswax BHO biawak biaya biji kesumba Binder biodegradable bixin buang bulu buaya bunga cacat cacat kulit cahaya castor chrome tanned color coat colour coat cost crazy horse crosslinking agent crust crust dyed DAC DAS daun deacidification Defek Defek Iklim Defek Jenis Bangsa Defek kulit Defek Lingkungan Defek Makanan Defek Musim degreasing deliming dermis dialdehid domba download dyed dyeing dyes dyestuff eco eco-friendly ecoprint ekstraksi emulsi enzim enzyme epidermis fatliquor fatliquoring fiksasi finishing fisis free chrome fruit fruit leather full grain fungsi garam garam jenuh garam tabur grading green technology grey scale hewan hipodermis ikan pari istilah istilah kulit jaket jaringan jenis jenis artikel jenis artikel kulit jenis dyestuff journal jurnal kadar air kambing kandungan karakter dyestuff kelarutan kelarutan dyestuff kelunturan keringat kerusakan kerusakan kulit kesumba ketahanan warna kimiawi klasifikasi klasiikasi klasik konsep krom kromofor kromogen kualitas kuantitatif kulit kulit box kulit jadi kulit krus kulit loose kulit mentah kulit pickle kulit samak kulit segar kulit ular lapisan finishing LARE LARE-PU leaher leather leather laptop light fastness limbah limbah cair limbah industri pengolahan kulit limbah padat liming longgar kulit longgar loose luas luas kulit luas leather luka macam dyestuff matching color matching colour medium coat menguning mentah metameri metameric metamerism minyak mutu nabati nano-silika nature netralisasi neutralisation neutralization Oksasolidin oksazolidin organoleptis oxazolidine panca indera Pasca Tanning pelarut pemanfaatan pemanfaatan limba pembasahan pemeliharaan peminyakan pencucian pengasaman pengawetan pengolahan pengolahan kulit pengolahan limbah pengujian pengujian crust dyed pengujian dyestuff pengujian leather penjualan penjualan kulit penyakit penyamakan penyamakan bebas krom penyimpanan perawatan perendaman pewarna pewarna alam pewarnaan pewarnaan dasar pH pH Dyestuff pickle pickling polipeptida Post Tanning post-mortem postmortem print problem solving proses proses basah Proses pasca protein pudar pull up ramah lingkungan reptile resep resep fruit leather retannign I retanning retanning II review review journal saddle samak sapi senyawa bixin sepatu silika sinar matahari sisa sisa proses size skin snake soaking solvent sortasi spray staining struktur surfactant surfaktan syarat lapisan finishing tanin tanned Tanning tanning krom tanning mineral tes test tipe tipe dyestuff titrasi top coat translucent transparan tujuan tujuan finishing tumbuhan uji uji fisis uji kimiawi ukuran ular unhairing upper vegetable vegtan vitamin e warna warna luntur wax wet blue yellowing yogyakarta

Blog Archive