Pengujian Organoleptis Kulit Jadi (Leather)

Uji Kerekatan Cat
Dalam menghadapi era globalisasi perdagangan saat ini, maka dunia usaha dan industri harus mempunyai cakrawala pandang yang luas khususnya dalam bidang pemasaran dan strategi bisnis supaya produknya mempunyai daya saing tinggi baik dalam maupun luar negeri. Salah satu cara adalah meningkatkan mutu produk yang diperdagangkan. Permasalahan ini juga akan dialami oleh industri perkulitan di indonesia. Para konsumen menghendaki agar barang yang dibeli sesuai dengan standar mutu yang berlaku serta sedikit mungkin mengandung zat kimia yang berbahaya bagi lingkungan baik manusianya maupun yang lain (tumbuh tumbuhan dan hewan). Dengan adanya tuntutan konsumen maka mau tidak mau produsen harus mengikuti aturan main dalam perdagangan tersebut. Keberhasilan suatu produk tidak hanya tergantung pada tinggi produksi dan rendahnya harga, tetapi terutama ditentukan oleh mutu produk yang prima dan dampak lingkugan yang terjadi.

Mutu adalah suatu subyek yang abstrak, yaitu sesuai yang bernilai mahal, tahan lama, kuat dan memenuhi keinginan konsumen. Menurut SNI 19-8402-91 mutu adalah karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat.

Berdasarkan definisi tersebut maka suatu barang atau jasa dikatakan bermutu apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

1.      Sesuai dengan kebutuhan dan penggunaan

2.      Memuaskan keinginan konsumen

3.      Sesuai persyaratan yang ditentukan

4.      Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku

5.      Ekonomis.

Pengujian kulit sangat diperlukan untuk mengetahui kualitas kulit jadi yang nantinya akan dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Selain itu, tuntutan konsumen untuk membeli kulit yang memenuhi standar (SNI) juga menjadi alasan untuk meningkatkan kualitas kulit jadi.

Dengan adanya Standar Industri Indonesia (SII), maka dapaat diketahui kriteria kulit jadi yang memenuhi standar baik itu ditinjau dari segi fisik maupun kimiawinya yang tentunya disesuaikan dengan jenis artikelnya. Sebab setiap artikel mempunyai standar yang berbeda – beda. Analisa diperlukan untuk mengetahui kualitas kulit apakah kulit tersesbut sudah sesuai denagn Standar Industri Indonesia (SII) atau belum.

Untuk kulit samak krom biasanya digunakan untuk atasan sepatu atau upper leather, untuk garment dan untuk sarung tangan. Sedangkan kulit samak nabati bisanya digunakan untuk kulit sol dan kulit lapis.

Menurut Jayusman dalam diktat penuntun praktikum ilmu bahan II secara garis besar tujuan dilakukannya pengujian terhadap suatau kulit samak adalah:

1.      Untuk menentukan mutu atau kualitas kulit secara umum, karena melalui suatu analisa atau pengujian dapat disimpulan bahwa kulit tersebut bermutu baik, sedang atau kurang.

2.      Untuk mencari kesalahan atau kekurangan dalam proses penyamakan kulit karena dari hasil uji ini dapat dilihat kekurangan yang terdapat pada hasil penyamakan kulit sehingga dapat diketahui pada proses apa saja yang mengalami kesalahan sehingga dapat dilakukan perbaikan pada proses berikutnya dengan harapan kulit yang dihasilkan  akan berkualitas baik.

3.      Untuk mengikuti proses produksi kulit yang berkualitas baik.

Pengujian terhadap kulit samak secara umum di bagi menjadi 4, yaitu pengujian organoleptis, fisis, kimiawi, dan mikrobiologis. Namun yang sering digunakan di Indonesia hanyalah 3 pengujian yaitu organoleptis, fisis, dan kimiawi. Hal ini disebabkan karena ketiga syarat pengujian tersebut saling berhubungan dan saling mendukung satu sama lain.

Pengujian organoleptis merupakan pengujian menggunakan pancaindra dan sering dilakukan secara visual. Dalam pengujian ini sering di gunakan alat bantu sederhana seperti mistar, cutter, dan silverpen, dalam pengujian ini sifat-sifat yang diuji meliputi kelepasan nerf, keadaan kulit,keadaan cat, kelentingan dan ketahanan sobek. Setelah selesai pengujian organoleptis, kulit dilakukan pengujian fisis dan pengujian kimiawi.

1.      Uji kelemasan kulit

Pengujian organoleptis yang secara umum dilakukan menggunakan panca indera atau tangan kurang lebih belum bisa dijadikan patokan. Biasanya dilakukan dengan membandingkan kulit standar. Untuk pengujian kelemasan kulit apakah sudah sesuai atau belum perlu dibandingkan dengan standarnya. Kelemasan ini bisa berarti apakah kulit lemas ataukah kaku.

2.      Uji kelepasan nerf

Pengujian kelepasan nerf dilakukan dengan meletakkan kulit di tangan sedangkan tangan yang satunya menekan dengan jari. Apabila terjadi kerutan-kerutan yang besar maka bisa dikatakan kulit mengalami kelepasan nerf. Dengan kata lain pengujian kelepasan nerf hampir sama dengan menguji loose kulit secara organoleptis

3.      Uji keretakan nerf

Pengujian keretakan nerf dilakukan dengan melipat kulit searah punggung kemudian dilipat lagi. Apabila kulit retak maka uji keretakan nerfnya tidak lolos.

4.      Uji kelentingan

Pengujian kelentingan kulit adalah dengan dibengkuk menurut garis punggung nerf kemudian ditekan naik-turun. Apabila ada perlawanan dari kulit maka kulit tersebut bisa dikatakan lenting.

5.      Uji kelunturan cat

Pengujian kelunturan cat menggosok kulit dengan kain berwarna putih yang kering dan basah. Apabila kain mengalami perubahan warna maka bisa dikatakan kulit mengalami kelunturan cat.

6.      Uji kelepasan/kerekatan cat

Pengujian kelepasan/kerekatan cat dilakukan menggunakan isolasi yang direkatkan pada kulit bagian nerf kemudian ditarik. Apaila dibagian isolasi ada cat yang menempel maka uji kelepasan/kerekatan cat kulit tidak lolos uji

7.      Uji kuat sobek

Pengujian kuat sobek secara organoleptis pada kulit dilakukan dengan membuat lubang dengan cutter yang kemudian ditarik menggunakan tangan. Apabila pada saat ditarik ada perlawanan maka kulit mempunyai kuat sobek yang tinggi.
Share:

Related Posts: