Mengatasi Kulit Loose pada Proses Retanning I

kulit loose

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kulit loose memang dikarenakan dari pembawaan hewannya. Kulit sangat terlihat loose terutama pada bagian belly dan flank. Dan untuk artikel tertentu semisal kulit atasan sepatu, pada bagian ini akan banyak sekali dibuang (trimming) karena tidak dimungkinkan untuk digunakan. Apabila dipaksa dijual maka harga jual kulit jadi / leather akan semakin turun atau murah.

Permasalahan kulit loose tidak hanya berasal dari hewannya saja. Akan tetapi bisa muncul atau diperparah oleh proses pengolahan kulit yang kurang baik. Penggunaan drum dengan kecepatan terlalu tinggi dan waktu proses yang lama seperti pada proses tanning juga bisa mengakibatkan kulit menjadi loose. Serat fiber dalam kulit akan menjadi semakin longgar sehingga akan semakin susah untuk diperbaiki pada proses selanjutnya.

Kulit loose banyak terjadi karena proses awal pengolahan kulit yaitu Beam House Operation atau BHO yang kurang bagus. Hal ini dikarenakan bahan baku awal yang berupa kulit mentah masih sangat rentan terhadap bahan kimia, aksi fisik maupun biologi yang berpa mikroorganisme maupun jamur. Sehingga apabila salah satu tahapan proses yang terlalu lama dan tidak hati-hati maka kulit akan menjadi loose.

Proses liming pada BHO yang bertujuan untuk menghilangkan bulu menggunakan kapur akan membuat kulit menjadi loose apabila proses yang terlalu lama dan suhu yang terlalu tinggi. Pada proses ini diharapkan penggunaan bahan kimia yang tidak terlalu banyak dan proses yang tidak terlalu lama. Berbeda dengan kulit yang memang nantinya didesign menjadi kulit yang sangat lemas seperti kulit kambing untuk glove. Kulit kambing untuk artikel glove beberapa perusahaan sengaja memperpanjang waktu proses agar hasil kulitnya sangat lemas seperti kulit domba.

Sama seperti halnya liming, pada tahapan proses bating di BHO akan dapat membuat kulit menjadi loose. Sebagian besar perusahaan pada proses ini sudah menggunakan enzyme untuk mengikis protein yang tidak terpakai yaitu protein globular. Apabila pemakaian enzyme yang berlebih maka akan bisa mengakibatkan kulit menjadi loose.
Permasalahan kulit loose sebenarnya terjadi hampir di semua perusahaan-perusahaan pengolah kulit. Kulit loose terutama pada bagian flank diharapkan bisa padat seperti pada bagian croupon sehingga kulit jadi yang dihasilkan tidak ada yang dibuang atau ditrimming. Bagi perusahan pengolah kulit kehilangan kulit walaupun hanya seluas 0,5sf maka akan semakin berdampak besar. Hal ini dikarenakan jumlah kulit yang diolah mencapai ratusan ribu square feets. Sedangkan pembelian kulit mentah maupun setengah jadi dalam jumlah banyak oleh perusahaan bisa dikatakan tidak bisa memilih kulit lembar demi lembar. Pembelian biasanya dilakukan semuanya secara keseluruhan. Karena permasalahan yang seperti ini perusahaan berusaha mengatasi loose pada proses pasca tanning.

Inti dari proses pasca tanning adalah mengisi bagian dalam kulit (rongga dalam kulit atau antar serat) dengan bahan kimia. Proses pasca tanning terdiri dari proses retanning I, netralisasi, retanning II, dyeing, fatloiquoring dan fixing. Proses pengisian bahan kimia dilakukan pada saat proses retanning I sebelum proses netralisasi dan retanning II setelah proses netralisasi. Sedangkan proses dyeing dilakukan untuk mewarnai kulit dan fatliquoring merupakan pemasukan minyak kedalam kulit agar kulit menjadi lemas dan mengurangi gesekan antar serat kulit.

Salah satu cara mengatasi loose adalah menggunakan bahan kimia pada saat proses retanning I pada proses pasca tanning. Kondisi kulit (wet blue) sebelum proses netralisasi mempunyai pH yang rendah atau bersifat kationik. Sehingga bahan kimia yang digunakan haruslah juga bersifat kationik agar mampu terpenetrasi ke dalam kulit. Apabila bahan kimia yang dimasukkan bersifat anionik atau pH tinggi maka bahan kimia tersebut akan berikata di permukaan kulit dan tidak mampu terpenetrasi sempurna ke dalam kulit.

Bahan kimia yang digunakan pada retanning I untuk memperbaiki kulit yang loose bisa berasal dari mineral, seperti alumunium dan zirconium. Alumunium yang digunakan biasanya dalam bentuk sulfat yang biasa digunakan untuk bahan proses tanning. Bahan ini (Alumunium sulfat) selain banyak digunakan untuk mengisi rongga dalam kulit juga digunakan untuk memperbaiki karakter kulit dari proses tanning yang menggunakan bahan krom.

Selain alumunium dan zirkonium yang berasal dari golongan mineral, pada retanning I juga bisa ditambahkan bahan lain dari golongan aldehid. Glutaraldehid yang merupakan golongan aldehid biasa digunakan atau ditambahkan pada proses retanning I bertujuan untuk membuat karakter kulit bersifat sponge. Jadi walaupun nanti hasil jadi kulitnya padat tetapi kulit masih terasa lembut sehingga akan nyaman apabila digunakan untuk fashion. Selain itu bahan dari aldehid akan membuat kulit lebih tahan terhadap keringat.

Bahan lain yang digunakan pada retanning I adalah polimer. Akan tetapi sifat polimer yang digunakan berbeda dengan yang digunakan pada retanning II. Salah satu contoh polimer yang digunakan adalah resin. Resin yang digunakan pada proses retanning I adalah resin yang bersifat kationik sehingga mampu terpenetrasi sempurna ke dalam kulit dan mampu mengisi pada bagian serat yang longgar secara merata
Share:

Related Posts: