Grey scale source:SDCE |
Sebelumnya telah kami post
tentang dyestuff, pengujiannya dan colour matching pada proses pasca tanning. Selanjutnya
kita akan belajar tentang pengujian kulit crust dyed terutama pada ketahanan
pewarnaannya. Perusahaan pengolahan kulit tentu saja berusaha agar kulitnya mempunyai
kualitas yang cukup bagus sesuai dengan standar atau sesuai dengan permintaan
pembeli. Untuk itu perlu dilakukan pengujian apakah kulit yang dihasilkan
mempunyai kualitas yang bagus dan stabil.
Proses pasca tanning pada
proses penyamakan kulit merupakan salah satu tahapan proses besar yang
bertanggung jawab pada cita rasa dan sentuhan karakter kulit. Pada proses ini
terdapat proses pewarnaan dasar atau dyeing. Proses dyeing bertujuan untuk
memberikan warna untuk meningkatkan penampakan kulit jadi (leather) agar lebih
indah sesuai corak dan metoda yang akhirnya dapat meningkatkan nilai produk
tersebut untuk diperdagangkan.
Proses pewarnaan dasar atau
dyeing menggunakan bahan pewarna dyes. Dye merupakan pewarna yang dapat larut
dalam suatu larutan dan dalam proses pewarnaannya melalui rekasi kimia. Dye ada
dua tipe yaitu sintetis (dyestuff) dan natural. Dye sintetis berasal dari bahan
petroleum sedangkan dye natural diambil dari tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral
menurut Singh dan Bharati (dalam Gurse A., 2016). Secara kimia Dyes menurut
Theory of O.N. Witt (dalam Abrahart E.N., 1977) dyes merupakan kombinasi dari
molekul tak jenuh yaitu kromofor yang disebut kromogen dan satu atau lebih
group substansi disebut auksokrom yang berfungsi untuk mengintensifkan warna
dan meningkatkan ikatan antara dyes dengan substrat. Jadi pembuatan dyes
sintetis atau dyestuff berdasarkan dari gabungan antara kromogen dengan
auksokrom.
Dyestuff yang diigunakan pada
industri penyamakan kulit paling banyak menggunakan acid dyestuff. Dyestuff
tipe ini banyak digunakan karena mempunyai banyak kelebihan diantaranya mudah
larut dalam air, penetrasi yang bagus, ketahanan warna yang baik dan rentang
warna yang besar, cerah dan tajam(Covington T., 2009). Pada akhir proses,
dyestuff tipe ini memerlukan proses fiksasi. Menurut Eddy Purnomo (Teknik Pasca
Tanning Kulit Besar, 2017), fiksasi dilakukan dengan menambahkan asam pada larutan
dyeing untuk meningkatkan daya dan kecepatan ikatan ionic antara gugus amina
pada rantai samping protein dengan gugus auksokrom (bermuatan negative) dari
dyestuff. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada proses fiksasi diantaranya
:
a.
Proses
fiksasi akan menyebabkan warna menjadi lebih tua
b. Fiksasi
dapat pula menggunakan bahan pembantu berupa komponen kationik (fixing agent)
seperti resin kationik, komponen Al, komponen Cr dan lain lain
c.
pH
akhir pada dyeing antara 3,2-3,5
Penilaian
kualitas ketahanan warna dilihat dari perubahan warna pada kulit tersamak apakah
mengalami kelunturan atau tidak. Kelunturan berasal dari kata luntur yang
menurut KBBI adalah berubah atau hilang warna(tentang cat, pakaian, emas
sepuhan dan sebagainya). Seberapa pekat lunturnya warna dibandingkan dengan
warna asli(blanko) sebelum mengalami kelunturan yang kemudian ditentukan
nilainya dengan grayscale.
Greyscale
mempunyai dua macam yaitu assessing dan staining. Assessing digunakan pada
kulit yang diuji. Sedangkan Staining digunakan pada kain yang mengalami
kelunturan oleh warna dari kulit yang diuji. Greyscale mempunyai skala antara 1
dan 5 yang mana nilai 5 mempunyai hasil paling baik atau tidak mengalami
perubahan warna sama sekali. Dan nilai 1 menunjukkan nilai terendah yang
berarti mengalami perubahan warna sangat buruk (The society of dyers and
colourists, 1990).
Kain yang
digunakan pada pengujian ketahanan warna menggunakan dua macam kain yang
mempunyai karakter yang berbeda yaitu kain katun dan polyester. Kain katun
merupakan kain serat alami yang berasal dari kapas (Suardiningsih D.,2013).
Kain katun mempunyai sifat dapat menyerap air, tahan panas seterika yang tinggi
dan tahan obat-obat kelantang. Kekurangan dari kain katun adalah tidak tahan
terhadap asam mineral dan asam organic.
Kain
polyester merupakan kain dari serat buatan manusia yang berasal dari
petroleum(Suardiningsih D., 2013). Kain polister mempunyai sifat tidak mudah
kusut, halus menyerupai sutra, tidak mudah menarik kotoran serta
pemeliharaannya mudah tidak menimbulkan jamur. Menurut FRR. Mallory (dalam
Suardiningsih D.,2013), kain polyester memiliki sifat hidrofobik, tahan
terhadap noda, dam tahan terhadap pewarnaan.
Pengujian
kulit tersamak terhadap pencucian dan keringat harus sebisa mungkin mendekati
proses sesuai dengan kondisi aslinya. Proses pencucian di rumahan biasa
menggunakan sabun untuk menghilangkan kotoran. Selain itu proses pencucian
menggunakan mesin cuci sebagai aksi mekanis untuk mempercepat proses. Sedangkan
pengujian ketahanan terhadap keringat berdasarkan dari pemakaian kulit yang
terkena langsung oleh keringat manusia.
Sabun
merupakan garam natrium atau kalium dari asam lemak dengan rantai karbon
panjang yang bersifat hidrofilik ujung rantai natrium atau kalium dan
hidrofobik dari gugus rantai karbon panjangnya. Prinsip kerja sabun adalah gaya
tarik antara kotoran, sabun dan air. Kotoran yang menempel umumnya berupa
lemak. Rantai karbon(hidrofobik) pada sabun akan mengikat kotoran sedangkan
ujung rantai natrium atau kaliumnya (hidrofilik) sakan terlarut dalam air dan
membentuk misel.
Deterjen
pembersih pakaian mempunyai struktur yang sama dengan sabun dengan komponen
utama surfaktan dengan daya pembersih yang kuat. Surfaktan berasal dari kata
surfactant yang berarti surface active agent atau bahan yang bekerja pada
tegangan permukaan suatu larutan(Salager, 2002). Surfaktan mampu menurunkan
tegangan permukaan antar muka antara air dan minyak sehingga mampu mengikat
kotoran pada suatu bahan kemudian larut dalam air.
Pengujian
ketahanan terhadap keringat dilakukan menggunakan keringat buatan. Keringat
buatan dibuat seperti keringat pada umumnya. Komposisi keringat terdiri dari sekresi
ekrin dan sekresi apokrin (Nazliniwaty) yaitu campuran senyawa anorganik
terutama NaCl, K, Ca, Mg, Cu, Mn dan senyawa organik seperti asam laktat,
formiat, asetat, butirat, urea dan asam laurat dengan kandungan nitrogen 0,023-0,06%.
Pada
awalnya degradasi dikarenakan keringat dimulai pada perang dunia II. Penelitian
oleh Colin-Russ (dalam Robert M. Lollar, 1965) adanya urea dalam keringat
memungkinkan reaksi alkali. Komponen lain yang berpengaruh adalah natrium
klorida dan asam lactat. Menurut Roddy dan Lollar (dalam Robert M. Lollar,
1965) keringat dapat menyebabkan degradasi pada kulit samak krom. Kulit
ternodai oleh migrasi garam krom akibat laktat yang berasal dari asam laktat
dalam keringat. Asam laktat akan menyebabkan reaksi balik dari tanning atau
proses detanning yang kemudian membentuk garam krom.