Pengujian Dyestuff |
Sebelum membahas pengujian dyestuff, sebaiknya rekan-rekan membaca
dahulu tentang dyestuff. Disitu
dijelaskan kenapa pewarna yang digunakan berupa dyestuff dan bukan pigment. Dijelaskan
pula kenapa dyestuff yang paling banyak digunakan pada pengolahan kulit adalah acid dyestuff bukan yang lainnya.
Secara umum misalkan saja
rekan-rekan membeli suatu barang katakanlah saja itu buah. Tidak mungkin
rekan-rekan membeli buah yang sudah busuk. Tanda-tanda buah itu busuk apa?
Misal warna yang coklat, bau yang tidak sedap, tekstur yang lunak dan
lain-lain. Sama hal nya juga dengan membeli bahan kimia (pelaku pengolah kulit
menyebut sebagai obat) tidak serta merta kita langsung percaya bahwa bahan yang
kita gunakan sudah sesuai dengan apa yang kita inginkan atau kita harapkan
bahkan apakah bahan kimia tersebut sudah sesuai dengan leaflet atau TDS (Technical
Data Sheets) yang biasa disertakan dari supplier.
Pembelian dyestuff bagi
perusahaan pengolahan kulit dalam skala besar sebaiknya juga dilakukan
pengujian. Pengujian dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari dyestuff.
Misalkan saja pada pH tertentu dyestuff tersebut mengalami perubahan atau
tidak. Dalam proses pengolahan kulit paling banyak menggunakan Acid Dyestuff dengan diakhiri proses fiksasi
pada pH 3-3,5. Tentu saja kita tidak menginginkan pada saat fiksasi terjadi
perubahan warna yang signifikan atau bahkan dyestuff rusak atau menggumpal.
Pengujian yang paling umum
dilakukan pada dyestuff biasanya
berupa kelarutannya, jumlah penggunaannya, pH dan ketahanan terhadap air sadah.
Dengan kita mengetahui karakteristik dari dyestuff maka kita akan dapat
menentukan proses pewarnaan yang akan kita lakukan. Tentu saja kita juga dapat
mengetahui apakah dyestuff yang kita
beli berubah atau tidak karakternya sehingga perusahaan dapat membatalkan
pembelian dyestuff.
Pada proses penyamakan kulit
pewarnaan bisa dilakukan pada saat pasca tanning dan finishing. Pewarnaan pada
proses pasca tanning biasa disebut cat dasar. Penggunaan dyestuff pada
pewarnaan dasar proses pasca tanning berkisar 1-4%. John Gerhard dalam bukunya
Posible defects in leather production mengemukakan bahwa penggunaan dyestuff
sampai dengan 5% berdasar dari rekomendasi German
Fastness Commission. Penggunaan dyestuff diusahakan hanya menggunakan satu
macam agar didapatkan homogenitas yang baik.
Pengujian dyestuff pada
leather didasarkan pada proses penyamakan kulit. Dyestuf yang digunakan harus
mempunyai syarat atau pengujian diantaranya kelarutan di dalam air, pH,
ketahanan terhadap basa, ketahanan terhadap asam, ketahanan terhadap cahaya,
metamerism, dan ketahanan terhadap air sadah. Dyestuff yang paling banyak
digunakan adalah acid dyestuff karena mempunyai penetrasi yang bagus dan proses
fiksasi menggunakan asam.
Pengujian pH dilakukan guna
mengetahui karakteristik atau muatan dari dyestuff. Pengujian ketahanan
terhadap asam agar diketahui dyestuff mengalami flokulasi atau tidak terhadap
asam seperti asam formiat dan asam sulfat. Pengujian terhadap basa seperti
natrium bisulfit dan natrium karbonat juga dilakukan untuk mengetahui apakah
dyestuff rentan terhadap alkali atau tidak. Pengujian ketahanan dyestuff
terhadap air sadah dilakukan dengan menggunakan air sadah dengan kesadahan
tinggi. Apabila dyestuff tidak mengalami flokulasi baik terhadap asam, basa dan
air sadah maka dyestuff tersebut baik digunakan.
Perusahaan TFL dalam pengujian kelarutan dan
stabilitas dyestuff berdasarkan IULTC mengemukakan bahwa pada prakteknya dyestuff
stabil pada pH 3,5 kebawah. Akan tetapi sebagian dyestuff pada pH dibawah 2,5
tidak stabil dan warnanya akan berubah. Apabila dyestuff sudah berikatan dengan
kolagen maka akan sedikit berubah warnanya pada pH rendah. Ada pula dyestuff
yang akan berubah warnanya pada pH tinggi.